Senin, 28 Mei 2012

TRADISIONAL

BAB VIII
KESATUAN HIDUP LOKAL TRADISIONAL

1.      PEMBATASAN KONSEP

Kesatuan hidup setempat. Berbeda dengan kelompok kekerabatan, kesatuan ini bukan hanya berdasarkan ikatan kekerabatan, tetapi lebih didasarkan pada ikatan tempat tinggal. Secara nyata, kesatuan hidup setempat selalu menempati suatu wilayah khusus. Orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu kesatuan hidup apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta kepada wilayahnya. Kesatuan hidup setempat disebut dengan community dan kita menggunakan istilahnya dengan sebutan “komunitas”.
               Komunitas harus mempunyai rasa kesatuan yang dimiliki semua kesatuan manusia sehingga ada rasa kepribadian kelompok, yaitu perasaan bahwa kelompoknya memiliki ciri-ciri kebudayaan atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lainnya.
               Sifat dari suatu komunitas adalah wilayah dan cinta pada wilayah serta kepribadian kelompok itu merupakan dasar dari perasaan patritisme, nasionalisme, dan lain-lainnya. Bentuk dari komunitas bermacam-macam; ada yang besar seperti misalnya kota, negara bagian, tetapi ada pula komunitas-komunitas kecil, yaitu band, desa, RT, dan lain-lainnya.
               Komunitas Kecil. Selain memiliki ciri-ciri komunitas pada umumnya, komunitas kecil memiliki sifat-sifat tambahan, yaitu :
a)      para warganya masih saling mengenal dan saling bergaul secara intensif,
b)      karena kecil, maka setiap bagian dan kelompok khusus yang ada di dalamnya tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya,
c)      para warganya dapat menghayati berbagai lapangan kehidupan mereka dengan baik.

2.      BENTUK-BENTUK KOMUNITAS KECIL
Seperti yang telah dijelaskan secara sepintas lalu di atas, di antara komunitas-komunitas kecil yang ada, akan diuraikan (1) kelompok berburu (band), yang bermatapencaharian sebagai pemburu dan peramu, dan berpindah-pindah tempat di dalam bats suatu wilayah tertentu, dan (2) desa, yaitu kelompok kecil yang hidup menetap di suatu wilayah.
Band merupakan kelompok berburu biasanya terdiri dari kurang lebih 80-100 jiwa, dan banyak yang bahkan lebih sedikit jumlah anggotanya. Dalam musim berburu, suatu band biasanya terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil, yang saling memencar, sehingga pada saat-saat seperti itu desa-desa induk mereka tampak sunyi dan hampir tak berpenghuni. Pada waktu tidak ada kegiatan berburu, semua kelompok berkumpul kembali di desa induk masing-masing. Wilayah perburuan biasanya dipertahankan sekuat tenaga terhadap serangan-serangan kelompok lain. Kelompok-kelompok pemburu yang menurunkan bangsa Indian di Amerika Utara dan Amerika Selatan konon berasal dari bagian timur-laut Benua Asia.
Suku-suku peternak pun diberi sebutan band, mereka lebih cenderung agresif dibandingkan suku pemburu, karena mereka seringkali harus menghadapi pencurian hewan ternak oleh kelompok lain. Suku-suku bangsa peternak yang hiduo dalam komunitas kecil sekarang masih ada di negara Rusia, khusunya di Siberia Timur-laut, Siberia Tengah, beberapa tempat di Asia Barat-daya.
 Desa adalah wilayah yang dihuni suatu komunitas kecil secara menetap. Suku bangsa penghuni desa pada umumnya bermatapencaharian bercocoktanam atau menangkap ikan. Dalam masyarakat suku-suku bangsa peladang, desa biasanya tidak dihuni sepanjang masa, karena para peladang umumnya turut pindah bersama dengan ladangnya, terutama apabila jarak antara desa dan ladangnya menjadi terlalu besar. Desa merupakan pusat pertanian para petani.

3.      SOLIDARITAS DALAM MASYARAKAT KECIL
Prinsip Timbal-Balik Sebagai Penggerak Masyarakat. Dalam masyarakat komunitas kecil di seluruh dunia, saling tolong-menolong tampak sangat menonjol. Hal ini adalah salah satu cara untuk menyelesaikan pekerjaan di musim-musim sibuk. Dalam komunitas kecil, sistem bantu-membantu ini seringkali menimbulkan salah paham, karena orang seringkali menyangka bahwa warga komunitas kecil saling tolong-menolong hanya karena mereka terdorong oleh keinginan spontan untuk berbakti pada sesama warga.
Menurut B. Malinowski, dalam masyarakat penduduk Kepulauan Tobriand, sistem saling tukar-menukar jasa tenaga dan benda dalam berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan, menjadi pengikat dan penggerak dalam masyarakat. Sistem pemberian sumbangan merupakan prinsip dalam kehidupan masyarakat kecil yang oleh Malinowski disebut principle of reciprocity, atau “prinsip timbal-balik”.
Gotong Royong Tolong-menolong. Tolong-menolong tidak selamanya dibeikan secara rela dan ikhlas, tetapi ada beberapa tingkat kerelaan, tergantung dari jenis kegiatannya dalam kegiatan sosial. Dengan demikian dapat kita bedakan antara : (1) tolong-menolong dalam pertanian, (2) tolong-menolong dalam kegiatan sekitar rumah tangga, (3) tolong-menolong dalam mempersiapkan pesta dan upacara, dan (4) tolong-menolong sewaktu terjadi musibah.
Gotong Royong Kerja Bakti. Kegiatan seperti ini dilakukan oleh sejumlah besar warga komunitas untuk bekerjasama menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan umum.Jenis gotong-royong kerja bakti ada dua, yaitu (1) bekerjasama dalam proyek-proyek yang dprakarsai para warga komunitas sendiri, dan (2) bekerjasama dalam proyek-proyek yang diperintahkan oleh Kepala Desa.
Jiwa Gotong Royong. Dasar dari gejala sosial berupa kegiatan tolong-menolong dan kerja bakti dalam masyarakat desa pertanian dan komunitas kecil pada umumnya adalah pengarahan tenaga yang tidak memerlukan keahlian khusus maupun tidak adanya diferensiasi tenaga. Sistem tolong-menolong hanya mungkin apabila didasari hubungan saling mengenal antara warga masyarakat kecil dengan prinsip kelompok primer. Kelompok primer adalah kelompok orang-orang yang terikat oleh suatu tipe hubungan tertentu.
Dalam masyarakat kota orang tidak lagi dapat mengharapkan bantuan sesama warga untuk segala kebutuhan hidupnya, karena berbagai kebutuhan orang telah dipenuhi oleh lembaga-lembaga, pranata-pranata, dan organisasi yang ada.
Jiwa atau semangat gotong-royong timbul akibat adanya pengertian akan kebutuhan sesama warga masyarakat. Dalam masyarakat yang memiliki jiwa gotong-royong kebutuhan umum dinilai lebih tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang terpuji.
Masyarakat dan Jiwa Musyawarah. Musyawarah adalah unsur sosial yang ada dalam banyak masyarakat pedesaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Musyawarah dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) musyawarah sebagai cara menyelenggarakan rapat, dan (2) musyawarah sebagai semangat yang menjiwai seluruh kebudayaan dan masyarakat.
Sebagai cara untuk menyelenggarakan rapat, musyawarah harusmemiliki kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat mendorong proses mencocokkan dan menginteggrasikan pendapat-pendapat yang ada. Dalam masyarakat yang berjiwa gotong-royong, musyawarah diterapkan untuk melerai pertengkaran kecil maupun besar, seperti yang juga tampak dalam prinsip-prinsip hukum adat yang sifatnya berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, tanpa mengalahkan atau menenangkan satu pihak.

4.      SISTEM PELAPISAN SOSIAL
Dalam masyarakat kecil dan sederhana, perbedaan sangat terbatas sifatnya, karena jumlah warganya pun sedikit, dan orang-orang dengan kedudukan yang tinggi juga tidak banyak jumlahnya. Sebaliknya, dalam masyarakat kompleks, pembedaan mengenai kedudukan dan status juga rumit, karena jumlah warganya banyak, dan individu-individu dengan berbagai kedudukan yang tinggi pun sangat banyak jumlahnya. Dalam hal kedudukan dan status inilah yang menjadi dasar dari gejala lapisan sosial.
Lapisan-lapisan sosial yang sangat mencolok perbedaannya itu menyebabkan bahwa lapisan-lapisan sosial kemudian disebut “lapisan-lapisan sosial tak resmi”, yang dalam tulisan bahasa inggris disebut social classes. Dalam suatu masyarakat biasanya ada istilah-istilah khusus untuk menyebut lapisan-lapisan sosial tak-resmi itu, kecuali sebutan-sebutan kabur. Dalam sosiologi, lapisan sosial yang jelas dan telah ditegaskan dengan suatu sistem hak dan kewajiban yang sudah mantab bagi para warganya, disebut estate, yang dalam bahasa Indonesia sebaiknya diterjemahkan dengan “lapisan sosial resmi”.
Istilah. Dalam karangan-karangan antropologi sosial dan sosiologi bahasa Inggris, digunakan istilah social stratum, social class, atau estate. Tetapi istilah ini sering menimbulkan kekacauan. Untuk konsep ini digunakan juga paham class struggle, yang senantiasa hadir di kedua golongan tersebut.
Sebab-sebab Terjadinya Susunan Berlapis. Di atas telah disebutkan bahwa dalam tiap masyarakat itu ada sebab-sebab tertentu mengapa suatu kedudukan dianggap lebih tinggi daripada kedudukan yang lain. Sebab-sebabnya yang lebih rinci adalah: (a) kualitas serta keahlian, (b) senioritas, (c) keaslian, (d) hubungan kekerabatan dengan kepala masyarakat, (e) pengaruh dan kekuasaan, (f) pangkat, (g) kekayaan.
Sistem Kasta. Sistem ini terbentuk apabila suatu sistem pelapisan sosial seakan-akan terbeku. Kasta merupakan sistem pelapisan sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) keanggotaan berdasarkan kelahiran, (b) endogami kasta yang dikuatkan dengan sanksi hukum dan agama, (c) larangan pergaulan dengan warga-warga kasta rendah, yang dikuatkan dengan sanksi hukum dan agama.
Ada banyak kasta yang ada diseluruh dunia. Contohnya sistem kasta di India yang telah ada sejak abad ke-8 sebelum Masehi, yaitu Rg-Veda dan Brahmana, tercantum bahan tertua me ngenai sistem kasta (jati) yang disebut sistem varna. Dalam buku-buku itu tertera keterangan bahwa dalam masyarakat India waktu itu terdapat 4 varna, yang tersusun berlapis dengan urut-urutan dari atas ke bawah sebagai berikut: Brahmana, Ksatriya, Vaicya, dan Cundra. Kasta pertama adalah kasta pendeta, Ksatriya adalah kasta para bangsawan dan tentara, Vaicya adalah kasta para pedagang, dan Cundra adalah kasta rakyat jelata. Selain keempat kasta itu masih ada orang-orang Paria yang tidak berkasta dan dianggap najis, dan karena itu tidak termasuk sistem varna.
Sistem Pelapisan Sosial di Bali. Masyarakat Bali secara adat terbagi dalam 4 lapisan, yaitu  Brahmana, Satria, Vesia, dan Sudra, yang jelas merupakan pengaruh Hindu, yang masuk ke Bali di zaman kebesaran negara-negara Indonesia-Hindu di Jawa Timur. Ketiga lapisan peertama, yang hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh masyarakat Bali, disebut triwangsa, sedang lapisan yang keempat, yang merupakan bahgian terbesar, disebut jaba. Walaupun jumlah yang tepat tidak ada, secara umum ada anggapan bahwa jumlah warga triwangsa berjumlah sekitar 10%, dan sisanya adalah warga jaba.
5.      PIMPINAN MASYARAKAT
Unsur – unsur Kepemimpinan. Pimpinan dalam suatu masyarakat dapat berupa kedudukan sosial,tepai juga proses sosial. Seorang pemimpin harus memiliki 3 unsur penting untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik , yaitu : 1. Kekuasaan , 2 . kewibawaan, 3. Popularitas . hubungan anatara pemimpin dan yang dipimpin tergolong hubungan yang dalam sosiologi disebut “ hubungan asimetris “ yang menyebabkan bahwa pengaruh hanya berjalan satu arah saja , yaitu dari pemimpin ke golongan yang dipimpin. Pengaruh yang besar diperoleh dengan adanya sifat-sifat pemimpin sebagai berikut :
1. Sifat-sifat yang di senangi warga masyarakat pada umumnya,
2. sifat-sifat yang di idamkan warga masyarakat pada umumnya ,yang karena itu        akan ditiru ,
3. memiliki keahlian yang diperlukan dan di akui warga masyarakat .
4. pengesahan resmi atau keabsahan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan adat masyarakat,
5. sifatnya yang keramat, menurut pandangan umum dalam masyarakat,
6. memiliki lambang–lambang pemimpin, sesuai dengan adat dalam masyarakat,
7. memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuatan fisik,
Orang dengan sifat-sifat yang disenangi adalah orang yang populer. Seperti yang telah disebutkan di atas, sifat itu penting, karena ia merupakan modal untuk memperoleh pengikut sebanyak-banyaknya.Seorang pemuka agama atau pendeta adalah seorang pemimpin yang dianggap keramat oleh masyarakat.
Berbagai Bentuk kepemimpinan dalam Masyarakat Kecil. Penelitian mengenai berbagai bentuk dan sistem kepemimpinan dan pemerintahan dari negara-negara besar merupakan bidang tugas ilmu politik; sebaiknya penelitian dan analisa mengenai bentuk-bentuk sistem kepemimpinan dan pemerintahan dalam komunitas kecil adalah bidang tugas antropologi. Bentuk-bentuk dasar yang terpenting dari kepemimpinan dalam masyarakat kecil adalah: (1) kepemimpinan kadangkala, (2) kepemimpinan terbatas, (3) kepemimpinan mencakup, (4) kepemimpinan pucuk.
Pemimpin Kadangkala. Pemimpin seperti ini ada dalam kelompok-kelompok pemburu, misalnya kelompok pemburu suku bangsa Indian Cree di Kanada Utara.
Kepemimpinan Terbatas. Ada suku-suku bangsa pemburu yang tidak memiliki pemimpin kadangkala atau pemimpin yang memiliki keahlian untuk memecahkan berbagai masalah khusus, tetapi memiliki seorang pemimpin tetap, walaupun wewenangnya sangat terbatas.
Kepemimpinan Mencakup. Masyarakat-masyarakat yang hidup menetap dalam desa-desa, biasanya mempunyai pemimpin-pemimpin yang wewenangnya tidak terbatas pada beberapa lapangan saja, tetapi mencakup hampir seluruh lapangan kehidupan masyarakat.  Suatu kepemimpinan seperti itu biasanya didukung oleh suatu kewibawaan dengan lambang-lambang yang resmi.
Kepemimpinan Pucuk. Jenis pemimpin seperti ini dalam buku-buku antropologi juga disebut paramount chief.  Seorang pemimpin pucuk sebenarnya jugaseorang pemimpin mencangkup, dengan kekuasaan yang lebih luas, yang meliputi suatu wilayah yang terdiri dari sejumlah kelompok dan desa. Sifat-sifat yang yang harus dimiliki seorang pemimpin pucuk yaitu sebagai pewaris lambang dan benda-benda pusaka suci dari suatu kelompok kekerabatan tertinggi.
6.      SISTEM-SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Arti paham. Kehidupan suatu masyarakat secara garis besar mematuhi seperangkat tata tertib yang disebut adat-istiadat. Adat-istiadat dalam kenyataan adalah cita-cita, norma-norma, pendirian, keyakinan, sikap, peraturan, hukum, undang-undang, yang mendorong tingkah laku manusia. Negara khayalan Utopia cenderung menentang adat-istiadat dan semua peraturan yang berlaku, sehingga oleh warga masyarakat lainnya mereka dapat sebutan “penjahat”. Dalam buku-buku asing mereka sebut deviants.
Ada tiga proses sosial, yaitu: (a) ketegangan sosial antara adat-istiadat dan kebutuhan-kebutuhan individu, (b) ketegangan sosial yang muncul karena adanya persaingan antargolongan, dan (c) ketegangan sosial yang disebabkan karena para deviants sengaja menentang norma-norma, adat-istiadat, dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Cara Pengendalian Sosial. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengendalikan ketegangan-ketegangan sosial, yaitu :
1)    mempertebal keyakinan akan kebaikan dan manfaat dari adat-istiadat,
2)    memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang taat kepada adat-istiadat,
3)    mengembangkan rasa malu untuk menyeleweng dari adat-istiadat,
4)    mengembangkan rasa takut untuk menyeleweng karena adanya ancaman.
Upaya mempertebal keyakinan masyarakat akan kebaikan adat-istiiadat dalam berbagai masyarakat secara khusus dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu (1) dengan pendidikan (2) melalui cerita-cerita dan dongeng-dongeng mengenai para pahlawan, mengenai orang-orang yang berjasa, dan lain sebagainya, yang berhasil dalam hidup karena mereka patuh pada adat, (3) dengan propaganda, yang terutama dilakukan dalam masyarakat-masyarakat modern,(4) melalui religi dan agama dan segala sistem peralatannya, yaitu sistem kepercyaan dan sistem upacaranya.
               Hukum. Ada dua macam pendirian yang bertentangan tentang hukum terhadap masyarakat, yaitu; (1) bahwa sistem pengendalian masyarakat yang berupa hukum ada dalam semua masyarakat, dan karena itu bersifat universal. (2) bahwa hukum tidak bersifat universal, karena tidak terdapat dalam semua masyarakat di dunia. Alat-alat kekuasaan adalah pengadilan dan kepolisian, sedang aturan-aturan adat- istiadat yang berakibat hukum juga dapat dipisahkan secara nyata dari adat-istiadat lain, karena tertera dalam buku undang-undang.
               Hukum dalam Komunitas Kecil. Apabila dalam suatu komunitas kecil terjadi pelanggaran adat-istiadat yang menimbulkan ketegangan, maka ketenteraman akan diupayakan dengan cara meminta keputusan dari seorang pemimpin. Oleh karena itu seorang peniliti harus berangkat dari peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dalam masyarakat. Hukum adat juga hidup apabila ada perkara-perkara yang bener-bener dipecahkan. B.Ter Haar telah menyatakan bahwa pedoman untyuk mengetahui (kenbron) batas antara adat dan hukum adat adalah keputusan-keputusan para pejabat pemegang kuasa dalam masyarakat.
Dari hasil analisa ini terbukti bahwa atura-aturan yang abstrak itu tidak selalu bermanfaat sebagai alat pengendalian sosial. Hasilnya adalah suatu teori mengenai dasar-dasar hukum yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Hukum adalah suatu kegiatan kebudayaan yang berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
2.      Ciri yang menurut Porposil adalah attribute of authority, yaitu yang menentukan bahwa kegiatan kebudayaan yang disebut hukum adalah keputusan orang-orang atau golongan orang-orang yang berkuasa dalam masyarakat,yang dapat meredakan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat, antara lain serangan terhadap diri seseorang, serangan terhadap hak orang,serangan terhadap pihak yang berkuasa, dan serangan terhadap keamanan umum.
3.      Ciri yang disebutnya attribute of intention of universal application, yaitu yang menentukan bahwa keputusa pihak yang berkuasa harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka waktu panjang, dan harus dianggap berlaku terhadap peristiwa-peristiwa serupa di masa yang akan datang.
4.      Ciri yang ketiga, atau attribute of obligation, menentukan bahwa keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua,tetapi juga sebaliknya.
5.      Ciri yang keempat, yaitu attribute of  sanction, menentukan bahwa keputusan-keputusan pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar