Selasa, 29 Mei 2012

ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di IndonesiaPDFCetakE-mail
2 Maret 2011 || community.bps.go.id 
Pada akhir tahun tujuh puluhan orang mengenal istilah stagflation (stagnation and inflation), di mana inflasi terjadi berbarengan dengan stagnasi. Dewasa ini Indonesia menghadapi dua kondisi yang terjadi secara simultan yang sifatnya antagonistis, yakni pertumbuhan ekonomi berlangsung serentak dan kemiskinan. Dari satu segi, kondisi makro ekonomi berada dalam keadaan yang cukup meyakinkan.  

Tingkat inflasi relatif cukup terkendali pada tingkat satu digit, import-eksport berjalan cukup baik, tingkat bunga lumayan rendah dan cadangan devisa cukup tinggi untuk dapat menjamin import dalam waktu sedang, investasi cukup tinggi (angka-angkanya boleh dilihat sendiri dalam Laporan BPS, Laporan Bank Indonesia dan Nota Keuangan).

Tetapi dari segi mikro, pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Urbanisasi meningkat terutama dari kelompok miskin dan pengemis. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga disemua kota-kota besar seluruh Indonesia. Semua ini menandakan adanya kemiskinan dan sempitnya kesempatan kerja di pedesaan.

Dibandingkan dengan banyak negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak rendah. Bahkan ketika krisis keuangan global yang menimpa hampir semua negara, sebagai akibat dari krisis kredit perumahan (prime morgate loans) di Amerika, yang bermula pada tahun 2006 sampai tahun 2009, ekonomi Indonesia tidak mengalami goncangan yang berarti.

Kemampuan untuk meredam akibat dari keuangan ini dapat terjadi berkat kebijakan makro ekonomi yang hati-hati dan tepat, di samping kondisi keterbukaan yang memangnya tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia.
Kemampuan Indonesia bertahan terhadap krisis keuangan tersebut menimbulkan keyakinan rakyat pada kemampuan pemerintah SBY Periode I, sehingga dapat memenangkan Pemilihan Umum untuk Priode II. Sayangnya keberhasilan dalam bidang ekonomi pada tataran makro ini tidak mampu menekan tingkat kemiskinan yang sejak lama sudah berlangsung.

Selama masa yang panjang, sejak beberapa dekade yang lalu, di Indonesia berlangsung proses pemiskinan desa secara berkelanjutan. Dalam Era Orde Baru dikenal kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas. Sub-sektor industri non migas ini menjadi prioritas utama. Berbagai fasilitas diberikan kepadanya, termasuk hak untuk membayar upah buruh rendah.

Upah buruh murah ini memang telah menjadi trade mark Indonesia dalam promosi penarikan modal asing. Asumsi yang dipakai, bahwa dengan upah buruh yang murah, maka harga pokok barang-barang yang diproduksi akan murah. Dengan demikian, produk eksport Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi. Padahal, meskipun harga pokok mempunyai korelasi dengan daya saing, karena barang dapat dijual dengan harga murah, tetapi daya saing suatu barang tidak sekadar ditentukan oleh harga (pokok), tetapi juga oleh kualitas barang, teknik marketing , politik/ diplomasi dan lain-lain.

Agar buruh (termasuk PNS) dapat hidup, maka harga bahan makanan harus dapat dipertahankan rendah. Inilah yang menjadi tugas pokok Bulog sejak waktu itu. Jika harga bahan makanan dalam negeri naik, Bulog segera harus mengimpor dari luar negeri. Rendahnya harga bahan makanan yang note bene hasil produksi petani, mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani di daerah pedesaan secara berkelanjutan.

Perbedaan dua kondisi yang yang berlangsung secara terus menerus tersebut selama masa yang panjang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk di Indonesia. Hal yang perlu diindahkan adalah, jika ketimpangan pendapatan antar penduduk sudah sangat lebar, akan terdapat kecenderungan mengaburnya pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran dari pembangunan. Artinya, setiap kita melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita, sulit dirasakan, pada saat yang sama boleh jadi sedang berlangsung proses pemiskinan.

Sebagai contoh dari keadaan ini dapat ditunjukkan dengan angka-angka sederhana sebagai berikut:

Jika misalnya, suatu negara berpenduduk 100 juta orang, terdapat 5% penduduk dengan pendapatan rata-rata US$ 300.000 per tahun, sementara 95% lainnya berpendapatan US $ 3000 per tahun (setingkat pendapatan rata-rata Indonesia sekarang). Andaikan, jika golongan penduduk kaya yang 5% itu naik pendapatannya 10% per tahun, sementara golongan menengah ke bawah yang 95% itu mengalami penurunan pendapatan per tahun sebesar 20%, akan terjadi kenaikan pendapatan rata-rata sebesar 5,21%. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana seperti berikut.

1. Total pendaptan semula adalah:
a. 5 Juta X US$ 300.000 = US$ 1.500.000
b. 95 Juta X US$ 3.000 = US$ 285.000
Total pendaptan US$ 1.785.000

2. Kalau kemudian terjadi kenaikan pendapatan 10% dari golongan kaya (5%), dan pendaptan golongan miskin turun 20%, maka akan terlihat:

a. Total pendapatan penduduk kaya yang 5% menjadi = US$ 1.500.000 + US$ 150.000 = US$ 1.650.000
b. Total pendapatan penduduk menengah dan miskin yang 95% adalah = US$ 285.000 - US$ 57.000 = US$ 228.000.

3. Total pendapatan nasional baru adalah = US$ 1.650.000 + US$ 228.000 = US$ 1.878.000. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar =

US$ 1878.000 – US$ 1.785.000 = US$ 93.000 atau sama dengan (93.000 / 1.785.00) x 100% = 5,21%.

Dengan demikian dapat dipahami mengapa meskipun kita mengalami kenaikan pendapatan per kapita setiap tahun sekitar 5 - 6%, kemiskinan dalam masyarakat makin bertambah. Inilah barangkali yang dapat disebutkan sebagai growth with poverty atau bisa kita singkat sebagai groverty, atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai pertumbuhan dengan kemiskinan atau disingkat sebagai pertumkin. Meskipun contoh tersebut memang dikemukakan secara agak menyolok, tetapi bagaimanapun, inilah yang sedang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Akibat dari keadaan ini tidak mengherankan, kalau di satu pihak ada yang mengklaim bahwa proses pembangunan nasional berjalan mulus, ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita tiap tahun. Di lain pihak ada yang menuduh, pembangunan ekonomi gagal karena tidak dapat menghilangkan kemiskinan.

Singkatnya, yang menjadi masalah adalah melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan hanya dengan menggunakan indeks gini ratio. Untuk mengatasinya, diperlukan adanya pengamatan yang lebih seksama di lapangan dan kebijakan yang bersifat affirmatif memihak kepada golongan miskin, terutama kepada mereka yang ada di pedesaan.

*) Said Zainal Abidin adalah ahli majanemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.

(vit/vit)

PLS

Sejarah Pendidikan Luar Sekolah

A.Pendahuluan
Latar Belakang
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan / pendidikan formal saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Berbagai kelemahan sistem persekolahan dimuntahkan, terutama pada aspek-aspek prosedural yang dinilai mengeras, kaku, serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun sistem persekolahan masih tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis yaitu tidak semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi-mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan hidupnya sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang pendidikan luar sekolah yang kita kenal dengan pendidikan informal atau nonformal.
B. Pembahasan
1. Sejarah Pendidikan luar Sekolah
Sejarah terbentuknya pendidikan luar sekolah (PLS) tidak bisa lepas dari lima aspek yaitu:
a. Aspek pelestarian budaya
Pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan) ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian pendidikan luar sekolah pada permulaan kehadirannya sangat dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan.
Pada dasarnya semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik. Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan, walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.
b. Aspek teoritis
Salah satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan Philip H. Cooms (1973:10), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan belajar minimum yang esensial. Atas dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
c. Dasar Pijakan
Ada tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah RI No.73 tahun1991tentang pendidikan luar sekolah. Melalui ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan belajar. Adapun bentuk-bentuk satuan PLS., sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989 pasal 9:3 meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak, padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
d. Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan, melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik. Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan, keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.
e. Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
Lembaga pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
2. Pengertian Pendidikan luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya. (http://anakciremai.wordpress.com/category/makalah-ilmu-pendidikan/page/22/)
Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang dilaksanakan diluar pendidikan formal untuk warga belajar agar mereka memperoleh suatu keterampilan dalam hidupnya.(http://kurtekdik06.blogspot.com/2008/05/pengertian-pendidikan-luar-sekolah.html).
Philip H. Combs mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang di selenggarakan di luar system formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan pada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
(http://fidanurlaili.wordpress.com/2010/11/28/pendidikan-luar -sekolah/
Jadi pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan, maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
3. Alasan Munculnya Pendidikan Luar Sekolah
Alasan-alasan Timbulnya Sistem Pendidikan Luar Sekolah Secara terperinci dapat diungkapkan bahwa alasan-alasan timbulnya pendidikan luar sekolah adalah:
a. Alasan dari Segi Faktual-Historis
1). Kesejarahan
Pada umumnya sementara orang beranggapan bahwa bila memperbincangkan masalah pendidikan maka orentasinya ke dunia sekolah dan menghubungkan guru dengan murid. Mereka kurang menyadari bahwa sebelum seseorang anak menjadi murid, anak-anak telah memperoleh pendidikan yang telah diberikan oleh keluarganya terutama ayah dan ibunya. Anak-anak bayak belajar di rumah dari ibunya atau orang tuanya di mana dan kapan saja serta menyangkut berbagai hal yang mereka perlukan di dalam pertumbuhannya ke arah sempurna.
Hal ini seperti diungkapkan oleh Drs. SWARNO bahwa: “Di dalam keluargalah anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting atau utama terhadap perkembangan pribadi anak”. Jadi jelas, anggapan sementara orang seperti tersebut di atas merupakan pengingkaran terhadap kenyataan yang ada. Di samping itu, sudah selayaknya orang tua mempunyai tanggung jawab moral terhadap pendidikan anak-anaknya agar mereka kelak menjadi orang desa yang tidak tercela. Kebutuhan pendidikan dari masyarakat semakin meluas seiring dengan munculnya Negara-negara yang baru merdeka dengan segala kekurangannya akibat penjajahan di masa lampau yang berlangsung berpuluh-puluh tahun atau bahkan berates-ratus tahun.
b. perubahan zaman
Sisi lain yang berpengaruh akan kesadaran kebutuhan pendidikan ini adalah kemajuan ilmu dan teknologi, perkembangan ekonomi, perkembangan politik, yang melanda hampir di semua belahan dunia. Realitas lain adalah makin dibutuhkannya berbagai macam keahlian dalam menyongsong kehidupan yang semakin kompleks dan penuh tuntutan, maka wajar masyarakat menghendaki berbagai penyelenggaraan pendidikan dengan program-program keahlian. Hal ini berimplikasi pada system dan bentuk-bentuk pendidikan yang dilaksanakan seterusnya dikenal adanya system pendidikan sekolah dan system pendidikan luar sekolah serta ada bentuk pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal
c. Keterbatasan Sistem Persekolahan
Di sisi lain system persekolahan, mengharuskan siswa berada dalam bentuk menyeluruh dan kahlian yang sejenis sehingga mereka terasing dari pengetahuan dan keahlian lain, Kekurangan / kelemahan sistem persekolahan inilah yang memungkinkan kegiatan pendidikan luar sekolah menerobosnya sehingga terungkaplah pengetahuan dan keahlian yang selama ini dirasakan sebagai kekurangan.
d. Potensi Sumber Belajar
Di masyarakat teryata tersebar berbagai sumber belajar yang tidak terbilang banyaknya dan sumber belajar demikian dapat bersifat makhluk hidup maupun benda-benda mati Orang-orang yang ahli, orang-orang yang pintar, orang-orang yang terampil penuh pengalaman merupakan sumber belajar yang bersifat manusiawi sedangkan kepustakaan desa, Koran, Majalah, Kaset, Film, dan bengkel kerja yang ada, merupakan sumber belajar yang bisa memperoleh ilham untuk menemukan kebutuhan yang berguna bagi seseorang. Sumber-sumber belajar tersebut, memberi lapangan bagi penyelenggaraan pendidikan luar sekolah baik berupa kursus dan latihan yang selama ini belum mereka dapatkan dan alami.
e. Keterlantaran Pendidikan Luar Sekolah
Pada mulanya orang telah menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan yang pada hakikatnya menggunakan system di luar dunia sekolah dan dilaksanakan bersamaan dengan pendidikan sekolah biasa, namun kegiatan-kegiatan banyak yang telah ditinggalkan orang seperti :
1) Masseducation pendidikan yang memberikan kecakapan
2) Adult Enducation
a. Pendidikan Lanjutan
b. Pendidikan Pembaruan
c. Pendidikan Kader Organisasi
d. Pendidikan Populer
3) Fundamental Education adalah Kecakapan berfikir dan bergaul dan berumah tangga, Kecakapan kerajinan dan kesenian, Kecakapan kejujuran, Pengetahuan tentang Lingkungan alam, Pendidikan jiwa, akhlak dan kesehatan.
4) Pendidikan Masyarakat, Kursus dan Latihan, Kumpulan Belajar, Kelas Bebas.
5) Pendidikan kemasyarakatan dapat dicontohkan Balai Pengetahuan Rakyat
f. Alasan dari segi Analisa-Perspektif
Palestarian Indentitas Bangsa Perubahan-perubahan yang bermakna ditekankan pada adanya isi perubahan yang berhubunhan dengan identitas bangsa yakni penerusan kebudayaan nasional dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Tujuan perubahan ini menyangkut keselarasan dan keseniam perkembangan bangsa yang bersangkutan di tengah-tengah kemajuan zaman sekarang ini sehingga bangsa tersebut dapat hidup dan berperan aktif di dunia. Perubahan secara sistemtis dimaksudkan bahwa perubahan tersebut melalui langkahlangkah dan saluran-saluran sehingga perubahan dapat diarahkan dan dipertanggung jawabkan tercapainya tujuan yang diinginkan.
g. Kecenderungan Belajar Individual-Madiri
Kecenderungan belajar seseorang tidak bisa dihalangi oleh siapapun dan keinginan untuk belajar ini dapat timbul kapan saja dengan tidak memendang Jenis Kelamin, Usia, Latar belakang pendidikan, tempat tinggal dan kecenderungan ini juga diperkuat oleh kemajuan ilmu dan teknologi seperti: Radio, Televisi, Mass media cetak dan kemudahan komunikasi antar daerah. Tersebarnya ahli pengetahuan yang lebih propesional semakin dapat memenuhi keinginan belajar mendiri.
h. Alasan dari Segi Formal-Kebijakan
1) Undang-undang Dasar 1945
a) Pembukaan UUD 1945 menyebutkan
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
b) Batang tubuh UUD 1945 menyebutkan pula:
Pasal 31, ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Pasal 31, ayat (2) : Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan satu system pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.
c) Garis-garis Besar Haluan Negara
1a. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat
2b. Pendidikan juga menjangkau program-program luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasyarakatan, termasuk kepramukaan, latihan-latihan keterampilan dan pemberantasan buta huruf dengan mendaya gunakan sarana dan prasarana yang ada
2) Pelita Ketiga
PLS merupakan salah satu subsistem dari satu sistem pendidikan nasional, yang turut membentuk manusia seutuhnya dan membina pelaksanaan konsep pendidikan seumur hidup. Kedua subsistem pendidikan sekolah dan luar sekolah, yang saling menunjang dan saling melengkapi
Penbahasan tentang pendidikan luar sekolah memang merupakan hal yang menarik, karena:
1. Pendidikan luar sekolah merupakan sistem baru dalam dunia pendidikan yang bentuk dan pelaksanaanya berbeda dengan system sekolah yang sudah ada
2. Dalam pendidikan luar sekolah terdapat hal-hal yang sama-sama pentingnya bila dibandingkan dengan pendidikan luar sekolah, seperti: bentuk pendidikan, tujuannya, sasarannya, pelaksanaannya dan sebagainya.
3. Jadi dengan pendidikan luar sekolah telah terkandung semua unsur yang disyaratkan oleh sesuatu sistem seperti anak didik, pendidik, waktu, materi dan tujuan. Dengan system pendidikan luar sekolah berarti adanya suatu pola tertentu untuk melakukan pekerjaan / fungsi yakni mendidik, pekerjaan / fungsi mana berbeda dengan pekerjaan / fungsi system pendidikan formal.
4. Mengajar bagaimana caranya belajar
5. Peranan guru makin sebagai partner anak didik dalam hal belajar
6. Ada jalinan hubungan antara sekolah dengan masyarakat dan agar anak-anak tidak terasing dari masyarakat. Sekolah harus merupakan system nyang terbuka, bagi anak-anak. Sebab dalam asas pendidikan seumur hidup ini semua orang dapat saja disebutkan sebagai anak didik. Sehingga pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah dapat dipandang sebagai makro maupun mikro dalam hubungannya dengan sistem pendidikan.
C. Penutup
Kesimpulan
Pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Pendidikan luar sekolah pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan. Agar setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan selalu dibutuhkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju.
D. Daftar pustaka
http://anakciremai.wordpress.com/category/makalah-ilmu-pendidikan/page/22/
http://kurtekdik06.blogspot.com/2008/05/pengertian-pendidikan-luar-sekolah.html
http://fidanurlaili.wordpress.com/2010/11/28/pendidikan-luar -sekolah/
http://www.anakciremai.com/2009/02/makalah-ilmu-pendidikan-tentang-sistem.html
http:///edupls.blogspot.com/2010/09/konsep-dasar-pendidikan-luar-sekolah.html
http:///csuryana.wordpress.com/2009/04/23/.pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan- realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah-pls/

kemiskinan

PAUD

Pendidikan anak usia dini

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaanyang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

KEAKSARAAN

GENDER

Kesetaraan Gender dalam Sorotan

Kategori: Bahasan UtamaMuslimah
3 Komentar // 9 Mei 2012
Dari sejak hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum muslimin, seiring melemahnya kekuatan mereka, sedikit demi sedikit dominasi syariat dan hukum-hukum Islam bergeser ke ranah-ranah privat dan hanya diminati oleh minoritas orang. Produk-produk pemikiran Barat pun sedikit demi sedikit menyebar di khalayak kaum muslimin. Diantara produk pemikiran Barat yang saat ini tengah dengan giat disosialisasikan adalah isu kesetaraan gender. Isu yang menghendaki hancurnya batas-batas pembeda antara dua kelompok manusia (baca: laki-laki dan perempuan) dalam status sosial dan peran di masyarakat ini dijajakan oleh para aktivis feminisme yang tidak lain adalah anak turunan liberalisme; ideologi kebebasan mutlak tanpa tapal batas.
Problem lemahnya keyakinan dan dangkalnya wawasan keagamaan menjadi pemicu utama yang menyebabkan ide-ide luar itu dapat dengan mudah masuk ke dalam pemikiran kaum muslimin tanpa filter yang menyaringnya. Apalagi, budak-budak pemikiran Barat yang giat menebar ide-ide rusak ini tidak jarang berbicara atas nama pembaharuan Islam, moderenisasi, dan jargon-jargon lainnya.
Kesetaraan dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (QS. An-Nahl [16]: 97)
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa [4]: 124)
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195)
Mujahid berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita dalam masalah hijrah sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153)
Perbedaan Kodrat
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Mahaadil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.” (Lihat Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19)
Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk “Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah”menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan wanita adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler. (http://www.saaid.net/female/0137.htm)
Allah berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Sementara (Lihat kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al Wâsithiyyah, hal. 180-181)
Hukum Syariat antara Laki-laki dan Wanita
Di antara ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal kepemimpinan. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa` [4]: 34)
Posisi strategis ini Allah berikan kepada laki-laki karena ia sesuai dengan tabiat dan kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam rumah tangga, laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab menjaga dan memelihara urusan orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya dari para istri dan anak-anak, termasuk menjamin pakaian, makanan dan rumah mereka.
Bahkan, tidak hanya urusan-urusan dunia mereka, namun juga dalam urusan agama mereka. Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah pemimpin/penanggungjawab bagi wanita, dalam hal agamanya, sebelum dalam hal pakaian dan makanannya.” (Khuthbah Jum’at, Masjid Amir Mut’ib)
Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan.
Begitu pula dalam kepemimpinan pada ranah-ranah publik seperti jabatan kepala negara, kehakiman, menejerial, atau perwalian seperti wali nikah dan yang lainnya, semua itu juga hanya diberikan kepada laki-laki dan tidak kepada wanita.
Dalam ibadah dan ketaatan, laki-laki secara khusus dibebani kewajiban jihad, shalat jum’at dan berjamah di masjid, disyariatkan bagi mereka adzan dan iqamah. Syariat juga menetapkan perceraian berada di tangan laki-laki, dan bagian waris dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
Adapun hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita juga banyak. Baik dalam ibadat, muamalat dan lain-lain. Bahkan sebagian para ulama menulis secara khusus buku-buku yang berkaitan dengan hukum-hukum wanita. (Lihat Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
Sikap Seorang Mukmin dan Mukminah
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah menyimpulkan, dari perbedaan-perbedaan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, maka ada tiga sikap yang harus kita ambil:
Pertama, beriman dan menerima perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita baik secara fisik, psikis, atau hukum syar’i, serta hendaknya masing-masing merasa ridha dengan kodrat Allah dan ketetapan-ketetapan hukum-Nya.
Kedua, tidak boleh bagi masing-masing dari laki-laki atau wanita menginginkan sesuatu yang telah Allah khususkan bagi salah satunya dalam perbedaan-perbedaan hukum tersebut dan mengembangkan perasaan iri satu sama lain disebabkan perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh karena itu Allah melarang hal itu dengan firman-Nya,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa` [4]: 32)
Tentang sebab turunnya ayat ini, Mujahid menuturkan, “Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa laki-laki berperang sementara kami tidak? Dan mengapa kami hanya mendapatkan setengah dari harta waris? Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh al Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan yang lainnya)
Ketika, jika al Qur`an dengan jelas melarang untuk sekedar iri, maka apalagi mengingkari dan menentang perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki dan wanita ini dengan cara memropagandakan isu kesetaraan gender. Hal ini tidak boleh bahkan termasuk kekufuran. Karena ia merupakan bentuk penentangan terhadap kehendak Allah yang bersifat kauni yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan-perbedaan tabiat tadi, sekaligus bentuk pengingkaran terhadap teks-teks syar’i yang bersifatqath’i dalam pembedaan-pembedaan hukum antara keduanya. (Lihat Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
Wallâhu ‘alam, wa shallallâhu wa sallam ‘alâ nabiyyinâ Muhammad.
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc. (Alumni Universitas Al Azhar Mesir, Da’i di Islamic Center Bathah Riyadh KSA)